Oleh: Nurizal Ismail
(Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID)
Akhir-akhir ini, penggunaan istilah ‘
post-truth’ berkembang sangat cepat semudah virus flu yang menghampiri manusia di musim hujan. Hal ini terjadi persis setelah
Oxford menyatakan kata
‘post-truth’sebagai salah satu kata paling fenomenal pada tahun 2016.
Oxford sendiri mendefinisikan
‘post-truth’sebagai suatu keadaan yang berhubungan atau menunjukkan fakta-fakta objektif yang kurang berpengaruh namun digunakan sebagai pembentuk emosi dan kepercayaan pribadi melalui opini publik.
Sebelumnya, ada beberapa penggunaan istilah bermakna ‘post-truth’ yang berkembang di dunia. Sebut saja seorang komedian asal Amerika Serikat, Stephen Colbert, yang menggunakan istilah ‘post-truth’ dengan ‘truthiness’ untuk sebuah keyakinan atas sesuatu yang terasa walaupun sebenarnya tidak didukung dengan fakta yang ada.
Ada pula Jamel Ball yang menggunakan kata ‘bullshit’ untuk mengartikan ‘post-truth’. Dalam bukunya yang berjudul ‘post-truth: how bulshit conquered the world’, Jamel Ball membicarakan tentang bagaimana omong kosong Donald Trump amat bermanfaat dalam menjadikannya sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 silam.
Biasanya, istilah ‘post-truth’ sendiri tidak diidentikan dengan arti pasca kebenaran yang berarti sesuatu yang melampui kebenaran. Pasalnya, makna melampaui kebenaran dapat juga bermakna kebohongan, kepura-puaraan, ilusi, hoaks hingga kesesatan. Sederhananya, ‘post-truth’ merupakan definisi dari kata ngapusi dalam bahasa jawa, bohong dalam bahasa indonesia atau kazb dalam bahasa arab.
Sebenarnya, fenomena ‘post-truth’ sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-sehari. Contoh, seorang pedagang mengatakan bahwa barangnya itu asli padahal palsu. Ada pula seorang siswa yang berbohong kepada kawan sekelasnya kalau nilai ulangannya 8 padahal nilainya hanya 5 dan banyak contoh lumrah lain yang dapat kita sebutkan namun sulit untuk diungkapkan karena terlalu sering diucapkan.
Bedanya, istilah ‘post-truth’ kini telah bergesekan dengan dunia politik. Akibat dari gesekan tersebut, banyak politisi yang menggunakan istilah yang pertama kali berkembang di Barat tersebut sebagai senjata utama dalam komunikasi politik maupun isu-isu keagamaan yang terjadi di Indonesia.
Setiap orang, bisa saja, menyebarkan opini melalui tafsirannya terhadap realita politik meski tidak didukung dengan fakta atau bukti yang otentik. Yang lebih parah jika masyarakat bisa meyakini kebenaran opini yang disebarkan oleh kelompoknya tanpa melakukan perifikasi kebenaran dari informasi yang diperolehnya tersebut serta menerimanya secara mentah-mentah dengan nada emosional dan kepercayaan diri tingkat tinggi namun ringkih. Walhasil, kebohongan yang tersiar menjadi sesuatu yang lazim dan lumrah bagi masyarakat. itulah bahayanya fenomena ‘Post-Truth’
Dalam Islam yang ada hanyalah kebenaran (al–haq). Sedangkan kebohongan merupakan satu sifat yang tercela dan harus dijauhi. Dalam Alquran surat al-Maidah ayat 8, Allah Swt berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam hadits Rasulullāh saw, yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Mas’ūd Raḍiyallāhu ‘anhu, bersabda: “Rasūlullāh Ṣallāllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong) (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).”
Secara komprehensif dan jelas, salah seorang pemikir Muslim terdahulu, Imam Mawardi dalam kitabnya Adābu al-Dunyā wa al-Dīn membahas tentang kebenaran dan kebohongan. Ulama bernama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al- Mawardi al- Bashri (364-450 H/974-1058 M) yang juga tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i serta pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada dinasti Abbasiyah mengatakan bahwa kebenaran itu menyeru akal dan syariat secara positif. Sedangkan kebohongan melarang akan untuk bekerja serta menahan pelaksanaan syariat.
Imam Mawardi juga menjelaskan jika penyebaran berita yang benar (khabar al-mutawātir) akan berdampak pada persatuan sedangkan penyebaran berita bohong akan membawa kepada timbulnya amarah dan permusuhan. Jika masyarakat hidup dalam situasi kebohongan yang pelik, maka ketentraman dan rasa aman akan hilang karena permusuhan timbul merajalela, terstruktur dan masif. Maka tidak heran jika ada sebuah pepatah Arab menyebutkan man qolla ṣidquhu qolla ṣadīquhu (Barangsiapa sedikit jujurnya, sedikit pula temannya).
Dari uraian Imam Mawardi di atas maka dapat disimpulkan bahwa dampak dan bahaya dari fenomena ‘post-truth’ tentu saja adalah permusuhan. Secara tidak sadar, hubungan pertemanan berganti menjadi permusuhan dan persatuan menjadi perpecahan. Itulah bahayanya penyebaran berita bohong dan kebohongan.
Salah satu nasihat penting yang ia rujuk dari Ibnu Muqaffa dalam kitab ‘al-Adab al-Kabir’ yaitu janganlah seseorang menganggap remeh pengiriman berita bohong meski olok-olok, kelakar atau senda gurau, karena sesungguhnya kebohongan itu dapat dengan cepat menghilangkan informasi yang berisi kebenaran.
Terakhir, Ada satu ayat yang sangat berkenaan dengan ‘post-truth’ yaitu firman Allah Swt yang artinya “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaranitu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran).” (Surat Yunus: 32). Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.