Saturday, June 15, 2019

Fintech Dapat Bantu Mustad’afiin

Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc
Wakil Ketua STEI Tazkia Dr Murniati Mukhlisin menjelaskan, fintech sudah dikenal masyarakat sejak lama yaitu sejak mesin pertama kali ditemukan. Namun, konteks fintech yang sekarang ini adalah fintech yang menjadi front-end yang cerdas, yang bisa seperti robot mengambil banyak peranan manusia.
Menurutnya, fintech merupakan inovasi yang baik untuk meningkatkan literasi keuangan atau keuangan syariah. Selain itu, imbuh dia, karena efisien, fintech berguna untuk mencapai pro-growth dan pro-poor, membantu mustad’afiin dan meningkatkan etos kerja keluarga. Dengan kehadiran inovasi fintech mutakhir ini, kata Murniati, sebagian tugas Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat diambil alih.
Meskipun demikian LKS sebagai back-end masih diperlukan. Misalnya, ketika membuka rekening virtual account dan escrow account.
Rekening virtual account adalah rekening penampung dana investor. Sedangkan escrow account adalah rekening bersama untuk menampung dana pengembalian dari pengelola.
“Kehadiran startup fintech mampu menjangkau pemilik dana dan pengguna dana semakin baik yang selama ini tidak masuk radar LKS,” jelasnya kepada Gontornews beberapa waktu lalu.
Menurut data OJK ada 50 juta UMKM yang tidak bisa diakses oleh perbankan dengan potensi pembiayaan sebesar Rp 2.500 triliun. “Selama ini kegiatan pembiayaan usaha banyak terpusat di Pulau Jawa atau sebesar 60 persen. Kehadiran fintech akan menjangkau luar Jawa lebih baik lagi, tentunya dengan memastikan e-KYC (Know Your Customer secara elektronik),” ujar inisiator Pusat Kajian Fintech Syariah di STEI Tazkia itu. [Muh Khaerul Muttaqien]

Friday, June 14, 2019

Curhatan Milenial Soal Ekonomi dan Keuangan Syariah

Oleh: Ratna Komalasari*
 Ratna Komalasari
Perkembangan teknologi informasi dan generasi yang terus familiar dengan ekonomi, mengharuskan para penggiat ekonomi syariah lebih masif lagi dalam melakukan dakwahnya secara tepat sasaran. Salah satu produk ekonomi syariah yang paling ‘laris’ saat ini adalah produk-produk keuangan. Ditambah dengan adanya fintech yang mampu meningkatkan konsumsi pada produk yang dibandrol dengan potongan diskon atau promo diaplikasi-aplikasi atau e-money tertentu. 

Hal tersebut tentu sangat menggiurkan dari sisi konsumen apalagi jika dilihat pada aplikasi-aplikasi dompet virtual yang ada di Indonesia mampu menawarkan diskon mulai dari 10 persen-75 persen. Bukankah itu akan sangat menghemat pengeluaran dan meningkatkan konsumsi pada produk lainnya?

Selain dari produk-produk itu ada juga jenis-jenis produk lain seperti perbankan, investasi keuangan, asuransi dan produk keuangan lainnya yang sudah sangat established di Indonesia. Lalu apa yang menjadi masalah?

Permasalahan edukasi tentang keuangan syariah sepertinya tidak akan pernah habis untuk dibahas. Karena Alhamdulillah selalu saja datang masyarakat yang berusaha hijrah menggunakan sistem dan konsep keuangan Islam. Tapi terkadang edukasi yang disampaikan hanya bersifat parsial atau diterima secara parsial tidak utuh. Membuat praktek-praktek keuangan Islam terkadang menjadi pincang.

Penulis ingin memberi contoh misalnya zakat. Bagi sebagian besar praktisi keuangan Islam membicarakan zakat dan semua permasalahan yang ada di dalamnya menjadi santapan sehari-hari.

Namun bagaimana dengan para muhajirin yang berpindah dari keuangan konvensional ke keuangan Islam? Tentu pertanyaan yang akan muncul lebih bersifat teknis karena pasti sudah ‘kebelet’ dengan praktek keuangan Islam tapi melewatkan konsep-konsep yang krusial yang membuat sistem keuangan Islam sangat spesial.

Mengapa penulis keukeuh mengharuskan zakat ada di setiap edukasi keuangan Islam. Karena semua sumber penghasilan yang diterima oleh setiap orang baik itu dari investasi, hasil berdagang, hasil beternak hingga barang temuan saja merupakan bagian dari zakat.

Mungkin setelah membaca statement ini akan melihat ‘kok Islam memonopoli banget sih?’. Tapi kami yakin para pembaca akan tersenyum ketika mengetahui besaran yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam zakat. Karena sangat jauh dibandingkan dengan pajak yang jenis dan besarannya sangat beragam bahkan bisa dibilang berlipat-lipat dari zakat.
Penulis kembali mengambil contoh dari teman, saudara atau orang-orang disekitar penulis yang sedang belajar mengenai ekonomi syariah. Kebanyakan dari para muhajirin ini curhat mengenai berbagai problem keuangan mulai dari kesulitan menabung, ingin mencoba berinvestasi, tergiur dengan berbagai jenis produk kredit  sampai perasaan yang menyimpulkan penghasilan yang diperoleh tidak pernah cukup untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Padahal jika mengenal lebih dalam ekonomi syariah maka semua poin di atas menjadi permasalahan yang sudah ada solusinya. Sebelumnya sudah sangat sering disampaikan bagaimana Allah mencabut keberkahan dari harta yang diperoleh, dengan cara membuat sebesar apa pun pendapatan tidak pernah seimbang dengan pengeluaran bahkan hingga minus. Jika solusi yang dicari oleh pembaca selama ini adalah solusi konvensional maka kemungkinan besar ada dua.

Pertama dalah menurunkan tingkat konsumsi kedua menambah jumlah pendapatan. Tapi bukan itu yang ditawarkan oleh sistem keuangan Islam.

Jika pembaca merasakan apa yang dirasakan salah satu milenial ini Islam mengharus mengevaluasi sudahkan zakat, infaq, sedekah ditunaikan? Sudahkah berikhtiar untuk melunasi utang-utang? Sudahkah meminta maaf kepada orang-orang yang didzalimi? Sudahkah meminta doa dari bapa dan ibu? Karena Islam tidak akan memberikan sistem yang bersifat satu dimensi. Jika dilihat di atas mungkin secara teoritis tidak akan pernah ditemukan bagaimana bisa permasalahan pengeluaran yang selalu kurang justru diselesaikan dengan mengeluarkan lagi harta diluar pengeluaran utama seperti ZIS (HR. Bukhari 1472).

Kemudian curhatan kedua yang mulai tergoda untuk berutang. Berbicara mengenai hal ini kita bisa melihat dari sisi pemberi utang atau berutang. Pada kasus sahabat yang curhat ini ingin mencoba berutang dengan tawaran kartu kredit dengan banyak kemudahan akses. Sementara, jika dilihat dari ritme kerja dan kehidupannya dengan menggunakan uang cash saja sudah lebih dari cukup.

Bagi para pembaca yang memiliki permasalahan yang sama mulai tergiur dengan jenis-jenis utang ini tanyakan kembali pada diri sendiri seberapa perlukah hal ini? Dampak apa yang akan dihadapi di masa depan jika mengambil kemudahan ini? Para pembaca mungkin akan sedikit lebih paham jika merujuk pada (QS Al-Hadid: 2) di mana Allah menjelaskan akan melipatgandakan kebaikan bagi siapa saja yang memberikan pinjaman kepada Allah (dalam hal ini memberikan utang).

Mengapa? Karena pada saat Anda memberikan utang itu artinya si penerima utang sedang dalam kesulitan dan membutuhkan. Maka dalam skema akad pun akad utang-piutang uang termasuk dalam akad tolong menolong yang mengharamkan adanya tambahan apabila dikembalikan (QS Ali-Imran: 30). Dari landasan-landasan ini sudah sangat jelas, ketika memutuskan untuk menerima kemudahan berupa utang artinya Anda dalam keadaan sedang membutuhkan bukan hanya sekedar coba-coba.

Terakhir, generasi milenial diklaim sebagai generasi yang sudah sangat melek dengan teknologi. Ternyata berdasarkan survei generasi ini pun paling melek bahkan mahir dalam mengelola keuangan. Sehingga tidak aneh jika pertanyaan-pertanyaan seputar pengelolaan keuangan digenerasi ini pun sudah mengarah dalam mengelola investasi walaupun para millenials ini belum memiliki penghasilan tetap.

Sebagai penggiat ekonomi syariah tidak perlu mengulang materi pentingnya investasi lagi. Tapi perlu kemudian memahamkan dalam investasi itu ada zakatnya juga loh, kalau investasi di secondary market pilih yang perusahaannya bergerak dalam usaha-usaha yang tidak dilarang Islam seperti bir, rokok dan lain sebagainya. 

Itulah sekelumit curhatan para milenial yang sama-sama sedang berhijrah untuk mengenal lebih dalam ekonomi Islam bukan hanya secara teoritis tapi juga secara praktek. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!


*) Konsultan Sakinah Finance

Perlukah Berhutang untuk Menikah?

Related image
Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc


Oleh Dr Murniati Mukhlisin MAcc, Konsultan Sakinah Finance, Colchester – Inggris
Pertanyaan: Sebuah iklan beredar di media sosial menawarkan produk kredit pesta pernikahan. Perlukah sampai demikian berhutang demi meriahnya sebuah pesta yang konon dipercayai meningkatkan martabat orangtua, kedua mempelai dan sanak keluarga?

Jawaban: Menikah adalah satu cara untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW namun bukan hanya tata cara menikah saja yang patut kita ikuti, sebaiknya hal-hal seputar pernikahan pun kita ikuti secara keseluruhan (kaafah).
Sebagian masyarakat Muslim di Indonesia menyiapkan pernikahan mulai dari mahar, jenis kartu undangan, acara tunangan (khitbah), hantaran lamaran, pesta pernikahan termasuk sewa gedung dan baju pengantin serta paket foto, tanda mata untuk tamu, baju seragam keluarga, bulan madu, rumah yang akan ditinggali dan banyak hal lainnya. Biasanya yang stres adalah antara orangtua dan keluarga besar, calon mertua dan keluarga besar, serta kedua mempelai sendiri.
Adapun keinginan untuk memeriahkan acara biasanya datang dari orangtua atau anak, atau keduanya. Pengantin baru Manis dan Bagus berbagi cerita: “Sebelum nikah, kami sih maunya pesta sederhana aja, tapi ya gitu deh, ortu maunya yang meriah. Biayanya ditanggung separo – separo antara dua keluarga.” Mereka mengatakan bahwa biaya pernikahannya ketika mengundang 1.000 tamu termasuk keluarga dekat menghabiskan biaya hampir Rp 500 juta dengan rincian kartu undangan dan ongkos kirim Rp 20 juta, mas kawin (mahar) Rp 75 juta, paket pesta pernikahan Rp  300 juta, tanda mata tamu Rp 20 juta, baju seragam keluarga Rp 25 juta, dan paket bulan madu Rp 60 juta. Manis melanjutkan bahwa ada juga dana yang masuk dari amplop yang dibawa tamu, sekitar Rp 200 juta, kado-kado serta bunga ucapan. Sebagian kado tidak terlalu digunakan, bunga ucapan apalagi, biasanya diambil lagi oleh pengirim bunga setelah pesta usai.  Sedihnya, pesta berakhir dengan hutang Rp 100juta!
Ketika Rasulullah SAW menikahkah putrinya Fatimah Az-Zahra RA, putri keempat dari istri Rasulullah, Khadijah binti Khuwaliid. “Marhaban wa sahlan” itulah ucapan Rasulullah SAW kepada Ali bin Abu Thalib RA ketika ia datang meminang Fatimah yang bermakna bahwa Rasulullah SAW menerima pinangannya. Maka menikahlah keduanya. Pernikahannya sangat sederhana bertempat di rumah yang sederhana, tidak ada musik dan hamburan kekayaan. Perabot rumahnya pun hanya ada kain beludru, bantal kulit berisi rumput kering, penggilingan gandum, alat minum, dan dua buah wadah. Mahar yang diminta tidak lebih dari 12 uqiyah (HR Darimi No 2103; Ibnu Majah No 1877), atau sekitar 500 dirham, Rp 35 juta nilai sekarang. Itulah pernikahan Fatimah Az-Zahra RA, yang disebut sebagai Ummu Abiha (ibu dari ayahnya) karena selalu menghibur Rasulullah SAW di tengah penderitaannya dalam mensyiarkan Islam. Itulah pernikahan Fatimah Az-Zahra RA, anak satu-satunya Rasulullah SAW yang disebut sebagai salah satu dari empat wanita terbaik di dunia yang namanya dihafal setelah Asiyah, Maryam, dan Khadijah. Itulah pernikahan Fatimah Az-Zahra RA, yang selalu dipuji, dicium tangan dan wajahnya kala berjumpa dengan ayahnya, Rasululllah SAW.
Jadi perlukah berhutang? Bagi yang ingin menikah, hendaknya mengkaji lagi pesan-pesan Rasulullah SAW bahwa pernikahan adalah urusan mudah, jangan menyusahkan siapapun juga, sehingga akan dapat mengundang keberkahan.
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.” (HR Abu Daud No 1808) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR Ahmad  No 24595). Rasulullah SAW pernah menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dengan mahar hafalan Qur’an, karena sang lelaki hanya punya sehelai sarung, tidak mampu mencari walau sebuah cincin besi (lihat HR Bukhari No 5422; HR Nasa’i No 3287; HR Darimi No 2104).
Menyiarkan kabar pernikahan dan berbagi kegembiraan dengan sanak keluarga dan tetangga serta para teman dan sahabat adalah suatu yang dianjurkan, namun jangan sampai memaksakan diri hingga berhutang. Anggaran sederhana dapat diupayakan, misalnya dengan mengirim undangan digital yang didesain cantik, menggunakan rumah sebagai ajang menyambut tamu, dan masak menggunakan catering sederhana. Karena biaya makanan adalah porsi terbesar, ada baiknya adat kampung dilestarikan di mana biaya pesta makan ditanggung bersama. Seperti yang diceritakan oleh sahabat kecil penulis, Fery Dubara bahwa tradisi membawa ayam dan beras masih ada di Baturaja, Sumatera Selatan, yang jangan sampai diganti dengan tradisi moderen yang serba praktis dan materialitis katanya.

Fenomena ‘Post-Truth’ dan Penjelasan Imam Mawardi


Oleh: Nurizal Ismail
(Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID)

Image result for nurizal ismail post
Nurizal Ismail
Akhir-akhir ini, penggunaan istilah ‘post-truth’ berkembang sangat cepat semudah virus flu yang menghampiri manusia di musim hujan. Hal ini terjadi persis setelah Oxford menyatakan kata ‘post-truth’sebagai salah satu kata paling fenomenal pada tahun 2016. Oxford sendiri mendefinisikan ‘post-truth’sebagai suatu keadaan yang berhubungan atau menunjukkan fakta-fakta objektif yang kurang berpengaruh namun digunakan sebagai pembentuk emosi dan kepercayaan pribadi melalui opini publik.
Sebelumnya, ada beberapa penggunaan istilah bermakna ‘post-truth’ yang berkembang di dunia. Sebut saja seorang komedian asal Amerika Serikat, Stephen Colbert, yang menggunakan istilah ‘post-truth’ dengan ‘truthiness’ untuk sebuah keyakinan atas sesuatu yang terasa walaupun sebenarnya tidak didukung dengan fakta yang ada.
Ada pula Jamel Ball yang menggunakan kata ‘bullshit’ untuk mengartikan ‘post-truth’. Dalam bukunya yang berjudul ‘post-truth: how bulshit conquered the world’, Jamel Ball membicarakan tentang bagaimana omong kosong Donald Trump amat bermanfaat dalam menjadikannya sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 silam.
Biasanya, istilah ‘post-truth’ sendiri tidak diidentikan dengan arti pasca kebenaran yang berarti sesuatu yang melampui kebenaran. Pasalnya, makna melampaui kebenaran dapat juga bermakna kebohongan, kepura-puaraan, ilusi, hoaks hingga kesesatan. Sederhananya, ‘post-truth’ merupakan definisi dari kata ngapusi dalam bahasa jawa, bohong dalam bahasa indonesia atau kazb dalam bahasa arab.
Sebenarnya, fenomena ‘post-truth’ sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-sehari. Contoh, seorang pedagang mengatakan bahwa barangnya itu asli padahal palsu. Ada pula seorang siswa yang berbohong kepada kawan sekelasnya kalau nilai ulangannya 8 padahal nilainya hanya 5 dan banyak contoh lumrah lain yang dapat kita sebutkan namun sulit untuk diungkapkan karena terlalu sering diucapkan.
Bedanya, istilah ‘post-truth’ kini telah bergesekan dengan dunia politik. Akibat dari gesekan tersebut, banyak politisi yang menggunakan istilah yang pertama kali berkembang di Barat tersebut sebagai senjata utama dalam komunikasi politik maupun isu-isu keagamaan yang terjadi di Indonesia.
Setiap orang, bisa saja, menyebarkan opini melalui tafsirannya terhadap realita politik meski tidak didukung dengan fakta atau bukti yang otentik. Yang lebih parah jika masyarakat bisa meyakini kebenaran opini yang disebarkan oleh kelompoknya tanpa melakukan perifikasi kebenaran dari informasi yang diperolehnya tersebut serta menerimanya secara mentah-mentah dengan nada emosional dan kepercayaan diri tingkat tinggi namun ringkih. Walhasil, kebohongan yang tersiar menjadi sesuatu yang lazim dan lumrah bagi masyarakat. itulah bahayanya fenomena ‘Post-Truth’
Dalam Islam yang ada hanyalah kebenaran (alhaq). Sedangkan kebohongan merupakan satu sifat yang tercela dan harus dijauhi. Dalam Alquran surat al-Maidah ayat 8, Allah Swt berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam hadits Rasulullāh saw, yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin Mas’ūd Raḍiyallāhu ‘anhu, bersabda: “Rasūlullāh Ṣallāllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong) (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).”
Secara komprehensif dan jelas, salah seorang pemikir Muslim terdahulu, Imam Mawardi dalam kitabnya Adābu al-Dunyā wa al-Dīn membahas tentang kebenaran dan kebohongan. Ulama bernama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al- Mawardi al- Bashri (364-450 H/974-1058 M) yang juga tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i serta pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada dinasti Abbasiyah mengatakan bahwa kebenaran itu menyeru akal dan syariat secara positif. Sedangkan kebohongan melarang akan untuk bekerja serta menahan pelaksanaan syariat.
Imam Mawardi juga menjelaskan jika penyebaran berita yang benar (khabar al-mutawātir) akan berdampak pada persatuan sedangkan penyebaran berita bohong akan membawa kepada timbulnya amarah dan permusuhan. Jika masyarakat hidup dalam situasi kebohongan yang pelik, maka ketentraman dan rasa aman akan hilang karena permusuhan timbul merajalela, terstruktur dan masif. Maka tidak heran jika ada sebuah pepatah Arab menyebutkan man qolla ṣidquhu qolla ṣadīquhu (Barangsiapa sedikit jujurnya, sedikit pula temannya).
Dari uraian Imam Mawardi di atas maka dapat disimpulkan bahwa dampak dan bahaya dari fenomena ‘post-truth’ tentu saja adalah permusuhan. Secara tidak sadar, hubungan pertemanan berganti menjadi permusuhan dan persatuan menjadi perpecahan. Itulah bahayanya penyebaran berita bohong dan kebohongan.
Salah satu nasihat penting yang ia rujuk dari Ibnu Muqaffa dalam kitab ‘al-Adab al-Kabir’ yaitu janganlah seseorang menganggap remeh pengiriman berita bohong meski olok-olok, kelakar atau senda gurau, karena sesungguhnya kebohongan itu dapat dengan cepat menghilangkan informasi yang berisi kebenaran.
Terakhir, Ada satu ayat yang sangat berkenaan dengan ‘post-truth’ yaitu firman Allah Swt yang artinya “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaranitu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran).” (Surat Yunus: 32).  Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.